Jumat, 09 April 2010

Tercatat di Indonesia ada 19 wilayah adat, di antaranya daerah propinsi Sulawesi Selatan. Dalam pada itu, obyektifitas nusantara yang sekarang menjelma sebuah Negara Republik Demokrasi, sebelumnya adalah negeri-negeri adat, yakni semua di dalam berbagai aspeknya, adalah terdahulu dari pada seluruh aspek modernisasi, terutama aspek ketatanegaraan yang mengalami kebrutalan semakin parah dewasa ini. Sejauh persoalannya telah mengundang sekelompok orang mengambil berbagai persepsi, terungkap misalnya datang dari Islam dengan wacana penegakan syariat, juga tidak kalah yang berasal dari adat (ade’/Bugis) dengan wacana kembali kepada penegakan pranata adat.

Tentu dari dua hal tersebut, aksiomanya sangat signifikan mengingat prinsip, adat bersendi syara’ dan syara’ bersendi adat; dalam pepatah Bugis mappakarajai sara’e ri ade’e mappakalebbi’i ade’e ri sara’e. Oleh sebab itu, kalau memang sejak sekarang, kebenaran makin sulit ditegakkan, maka tidaklah ada yang representatif bagi tanah air, kecuali hanya mengembalikan kekuasaan kepada adat/ade’. Dalam hal tersebut di Sulawesi Selatan, yakni kembali kepada “pangadereng”, struktur mencakup ade’, bicara, wari dan rapang serta syara’.

Sulawesi Selatan adalah daerah teritorial salah satu adat, perspektifnya dalam sejarah terdiri atas beberapa kerajaan, terdapat di antaranya kerajaan besar terbilang “bocco” yang di dalam status sebagai induk atau sentral. Juga ada kerajaan kecil terbilang “lili” berdiri sebagai negara bagian atau daerah dari kerajaan besar, semua di antara satu dengan yang lain senantiasa bersinergi bagaikan federasi negara-negara. Misalnya Kerajaan Tanete, Nepo dan Balusu, ketiganya sekarang menjelma di Kabupaten Barru, sebelumnya yakni pada saat pangadereng, adalah federal dengan kerajaan Soppeng, baik disebabkan hubungan emosional etnis, juga memang kesadaran berserikat dan bersatu.

Kemudian kerajaan sebagai induk tersebut merupakan satu elemen anggota bergerak labih besar, dalam sinerginya dengan kerajaan Bone dan Wajo. Dalam pada itu, tiga dari sinergi kerajaan dipimpin oleh yang lebih besar atau “bocco”, yaitu kerajaan Bone. Selanjutnya dari kebesaran dimiliki, dibawa bersinergi dengan kerajaan-kerajaan sama besarnya se Sulawesi Selatan. Yaitu Gowa dan Luwu. Ketiganya dalam sejarah dikenal kerajaan “Tellumpoccoe”, artinya tiga kerajaan puncak di Sulawesi Selatan. Yaitu Bone, Luwu dan Gowa.

Kerajaan Bone sebagai satu di antaranya dijadikan oleh Belanda, ditunjuk memimpin sekutu dan kelihatan paling berwibawa, sehingga semua di dalam perjuangan, sepanjang sejarah melawan penjajahan, kerajaan Bone dalam kejatuhannya pada tahun 1906 M. ditandai secara de facto, kejatuhan “pangadereng” yang struktur pemerintahan se Sulawesi Selatan ke tangan Belanda. Daerah-Daerah bekas kerajaan sudah tergabung ke dalam salah satu wilayah gubernemen dari kerajaan Belanda dengan ibukotanya Makassar. Dalam pada itu, semua dasar kebijakan mengenai politik telah berada di tangan imperial atau penjajah.

Di salah satu wilayah di Kabupaten Barru Sulawesi Selatan, di sana tersimpan kelalaian terhadap sebuah basis kerajaan tertua, terbesar dan bergensi, dibanding misalnya kerajaan Nepo, Balusu dan Barru. Tersimpan kelalaian sejak lama (± 1 abad) terjadi di kerajaan Tanete, di dalam pranata sekarang menjelma sebuah kecamatan di Kabupaten Barru, selanjutnya mendapat pemekaran menjadi tiga, yaitu Tanete Rilau, Tanete Riaja dan Pujananting.
Di seluruh nusantara, khususnya di Sulawesi Selatan , kerajaan adalah sistem politik peninggalan leluhur, yang di dalam konteks budaya adalah milik asli peradaban di Indonesia. Dalam pada itu, betapapun kecil sebuah kerajaan, apalagi terbilang besar dan berpengaruh, maka sikap memelihara dan mempertahankan eksistensinya, merupakan jiwa patriotisme terhadap bangsa, tanah air dan budaya sendiri. Sebaliknya memilih sikap apriori atas keterpurukan pranata adat, adalah sikap tidak fair dan pengecut, karena ulah yang sekadar menyedok kebudayaan modern, atau seakan-akan sudah menebus dirinya selaku bangsa biadab di negeri sendiri.

Peradaban modern mulai berkembang pada abad XVIII di Barat, kemudian menyusup ke dunia Timur; semua elemennya sudah diterima, baik melalui perdagangan dan penjajahan, maupun dengan kemajuan sains dan teknologi, terutama pada abad XIX dijadikan saat dalam sejarah, bahwa penjajahan Barat telah menyapu jagat dunia Timur sebagai imperiumnya. Paling terjajah adalah dunia Islam, semua telah terkontak kecuali Arab Saudi dan Turki Usmani. Dan tidak kalah penting dikemukakan, ialah tanah air Indonesia yang mantan negeri-negeri adat, telah digalak dan digagahi oleh kolonial Barat, yakni Inggeris, Belanda, Portugis dan Amerika.

Oleh sebab itu, sepanjang penjajahan dan berkibarnya angin pembaharuan di Indonesia, maka semua elemen bangsa mengalami kebijakan modernisasi. Dan paling utama ialah perubahan politik, sehingga basis/pranata adat harus diganti dengan pranata republik demokrasi, nasionalisme serta seluruh isme-isme yang berkumandan di abad modern. Dalam pada itu, sekarang sudah dirasakan, bahwa peradaban modern di Indonesia tidak sekadar menyisakan kebaikan, tetapi yang banyak adalah mengotak-atik dan mencabik-cabik kultur adat dan agama, seperti krisis ketulusan dan kejujuran.

Mungkin tidak keliru menilai fakta, bahwa bangsa Indonesia sudah lebih separuh abad menjalankan kemerdekaan dari kerajaan Belanda, namun kiranya, belumlah menarik jarum sejarah untuk mendapatkan kemerdekaan sejati, kecuali yang tampak adalah perpanjangan kolonial dari kalangan bangsa sendiri. Perubahan politik yang dipraktekkan sebagai dasar kebijakan, hanya saja menyita banyak waktu dan menelan biaya cukup besar, serta hasil dan nilainya pun sisa keterpurukan.

Di kawasan daerah sebelum terbentuk Kabupaten di Barru, terdapat 4 (empat) kerajaan, yaitu Tenete, Barru, Balusu dan Nepo. Keempatnya pada zaman penjajahan, masingt-masing menjadi daerah otonom Swapraja. Bekas kerajaan Balusu dan Nepo menjadi swapraja Soppeng Riaja dan Mallusetasi, bekas kerajaan Tanete dan Barru tanpa perubahan nama menjadi swapraja Tanete dan Barru. Pejabat atau pemangku diangkat ketua-ketua swapraja di atas, sesuai kulturalnya menyerupai raja, diberikan gelar tradisional berdasarkan tempat di mana Ketua Swapraja bertahta, misalnya Datu ri Tanete, Petta ri Berru dan Mallusetasi serta Arung ri Soppeng Riaja. Perbedaan istilah sekadar maksudnya mengingatkan, bahwa ada perbedaan budaya pada setiap tempat, namun di dalam tugas dan tanggung jawab, semua sama di bawah naungan Kerajaan Belanda, yakni tidak membedakan derajat di antara mereka satu sama lain.

edited by indoskripsi.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar